Langsung ke konten utama

Ayahku Guruku

source: pixabay


Jika semua rasa yang ada di hatiku bisa diungkapkan hanya dengan satu kata tentang ayahku, itulah benci.

Pada suatu masa yang aku tak ingin mengingatnya lagi, namun ironisnya masih sangat jelas terukir dalam ingatanku, sebuah peristiwa terjadi di depan mataku. Mata seorang anak yang bahkan perlu beberapa tahun kemudian untuk bisa memahami apa yang sebenarnya sedang terjadi. Dan membuatku terpisah dari dekapan ibu untuk beberapa waktu.


Gerimis yang menderas memiaskan tangisku dan tangis ibu. Pelukan kami dirampas paksa. Di bawah remang lampu minyak, ibu meronta saat tangannya ditarik beberapa lelaki menuju pintu. Ujung dasternya yang kucengkeram erat koyak karena tubuhku ditarik sepasang tangan kekar milik ayah.

Aku pun meronta. Aku tak mau berpisah dengan ibu. Aku mau bersama ibu ke mana saja. Aku tak mau tinggal berdua saja bersama ayah. Karena ayah tak pernah ada di dekatku sejak aku bisa mengingat sesuatu. Ayah selalu pergi. Dan hanya pulang untuk membentak ibu.

Lelaki yang seharusnya melindungi dan menenangkan justru menjadi pencetak teror di setiap penjuru rumah kami. Bak diselimuti awan pekat dan udara menipis jika ayah ada di rumah. Hanya takut dan takut yang kurasakan. Tak pernah kulihat senyum ibu walau hanya segaris. Tapi tatapan ibu selalu menyembuhkan takutku. Matanya teduh dan hangat.

Dari cerita ibu yang kudengar beberapa tahun kemudian, ternyata lelaki yang telah mengukir jiwa ragaku itulah yang tega memfitnah ibu tanpa memberinya sedikit saja celah bagi ibu untuk membela diri.

Semua bukti menjurus pada ibu, dua puluh gram perhiasan emas majikan ibu ditemukan di dalam lemari kecil satu satunya di rumah kami. Namun belasan gram lainnya telah amblas. Ibu tak bisa mengelak sama sekali, karena ibu adalah orang terakhir yang keluar dari rumah sang majikan hari itu. Namun tak seorang pun tahu ada seseorang yang turut mengendap di dalam rumah besar itu.

Malam itu, ayah menyerahkan ibu begitu saja pada orang-orang berseragam. Matanya berair, tubuhnya bergetar memelukku. Namun semua itu hanya pura pura belaka.

Ukiran ingatanku tergambar jelas. Ibu dipaksa meninggalkan aku yang kedinginan.

Malam itu hingga ratusan malam lagi aku selalu kedinginan. Bahkan di siang hari pun aku kedinginan.

Lelaki yang kupanggil ayah hanya singgah ke rumah untuk membaringkan tubuh lusuhnya dan meninggalkan bungkusan makanan untukku. Itu pun tak tentu. Beruntung ada tetangga yang peduli denganku.

Ada ayah atau pun tak ada ayah tak jauh beda kurasa. Aku tetap sepi. Pernah aku iri pada anak kecil yang lewat di depan rumah. Dia tertawa lepas dalam gendongan ayahnya. Namun begitu aku menoleh pada ayah yang sedang mendengkur, rasa iri itu langsung lenyap.

Tapi sesungguhnya, aku merasa lebih tenang jika dia tidak di rumah. Di kesepianku aku bisa merasakan hatiku menghangat. Kepalaku sedikit tumbuh. Aku bisa leluasa menggambar wajah ibu didalam otakku. Dan kuselipkan doa di setiap helai rambutnya. Lalu kuciumi sepuasnya di dalam hatiku hingga aku terlelap kelelahan. Dan lupa pada ayah yang entah kemana.

Ratusan hari sejak malam itu.

Angin kemarau menerpa dedaun akasia. Membawa sebuah aroma yang pernah lekat di hidungku. Bau tubuh ibu yang selama ratusan hari hanya bisa kucium lewat ingatan. Ya. Ibuku kembali. Ibu telah berdiri di depanku. Seketika aku merasa utuh.

Hari hari selanjutnya aku bisa tertawa. Bisa kudengar lagi cerita dari mulut ibu sepanjang yang kumau. Bisa kunikmati mata ibu yang selalu tersenyum. Aku bisa tertawa lagi, meski keadaan tak sempurna. Karena ayah tetap selalu pulang hanya untuk membentak ibu. Tapi ibu tak pernah sekali pun membantah.

Hari berganti bulan. Bulan menjelma tahun. Tekanan tekanan yang aku dan ibu terima tak terhitung lagi. Namun aku bukan bocah polos lagi. Deraan dan hantaman meruntuhkan tembok ketakutanku. Perlahan luruh menjadi anak panah perlawanan yang siap melesat. Aku tak rela ibu dihina setiap waktu. 

Aku menunggu saat untuk menarik busur dan melentingkan perlawananku. Aku harus berbuat sesuatu untuk seorang perempuan yang sangat berharga. Perempuan yang selalu menyinari hariku. Meski aku hidup bersama dua orang tua, namun aku merasa hanya memiliki ibu. Setidaknya itulah yang aku inginkan.

Dan waktu seakan menjawab permohonanku.

Di sebuah ujung malam yang beku, ayah menerjang pintu masuk rumah. Makian dan cacian meluncur deras dari mulutnya yang bau alkohol. Menuduh ibu yang bukan-bukan.

Aku yang sedang bersiap tidur segera melompat keluar kamar. Kulihat ibu menatap sedih pada lelaki yang dikasihinya itu. Ayah yang kalap dan dikuasai setan sempoyongan menuju ibu. Tangannya sudah terayun ke udara. Otakku mengatakan kalau dia akan memukul ibu.

Spontan aku maju dan mendorong tubuh ayah yang oleng. Sekuat tenaga kukerahkan untuk melawan sosok kekar itu.

Jika mungkin hanya bentakan dan cacian saja aku bisa mencoba diam. Tak lain karena aku sangat menghargai sikap mengalah ibu. Namun jika fisik ibu juga disakiti, aku sangat sangat marah.

Braak!!

Tubuh ayah rubuh menimpa kursi. Kepalanya membentur ujung sandaran lengan yang terbuat dari kayu keras. Seketika itu tak sadarkan diri.

Teriakan ibu yang tinggi pun tak mampu bangunkannya.

***

Tahun ke lima pernikahanku.

Kudorong perlahan kursi roda ke tengah halaman. Udara sejuk dan hangat sinar matahari pagi adalah perkawinan yang sempurna. Ibu mengekor sambil membawa semangkuk bubur. Lalu telaten menyuapkan bubur pada lelaki tua di kursi roda. Sambil tetap mengajak berbincang.

Aku menikmati pemandangan itu dalam hening. Sehening ayah sejak aku membuatnya jatuh dulu.

Semua berubah sejak itu. Tak ada lagi bentakan dan makian. Ayah juga tak pernah keluar rumah. Jangankan keluar rumah, turun dari tempat tidur sendiri pun ayah tak mampu. Benturan itu menyisakan kelumpuhan.

Aku yang awalnya merasa sangat berjasa telah melindungi ibu, tiba-tiba menjadi seorang pecundang yang telah mencelakai ayahku sendiri. Selama beberapa waktu aku tak bisa memaafkan diriku sendiri. Mungkin sampai detik ini aku masih mengutuki diri sendiri kalau bukan karena ibu yang menyadarkanku.

Ibu menangani semua dengan sabar dan ikhlas. Merawat suami dan mendampingiku menemukan lagi arah hidupku. Dari ibu pula aku bisa mengubah cara pandangku tentang ayah.

Ayah dulu memang labil dan emosional. Semua bukan tanpa sebab. Ayah yang tak pernah mendapat kasih sayang utuh dari orang tuanya. Limpahan materi sebagai anak orang kaya tanpa didampingi cinta membuat ayah jadi orang yang mudah menyerah dan besar kepala. Sebuah perubahan besar terjadi saat ayah nekat menikahi ibu. Orang tua ayah, kakek nenekku yang belum pernah sekalipun aku bertemu, mengusir ayah karena menikahi gadis yang tidak sekasta. Tragisnya, ayah tak siap dengan semua itu. Jadillah ibu berjuang sendiri mempertahankan cinta mereka.

Mendengar kisah itu aku semakin merasa bersalah karena telah membenci ayah. Dia tak layak kubenci karena dia hanyalah seorang yang rapuh. Justru kekuatan cinta seperti milik ibu yang sangat dia butuhkan.

Aku memang pernah sangat membencinya, juga sangat takut padanya. Tapi aku tak mau cerita yang sama akan terjadi pada anakku. Aku sebagai lelaki tak ingin mewariskan kepahitan pada anakku.

Dari ayah aku belajar bagaimana menjadi seorang ayah. Seorang ayah yang dirindukan oleh anak-anaknya. Seorang ayah yang dimiliki seutuhnya oleh keluarganya.

Seburuk apapun, dia tetap ayahku. Sebesar apapun kesalahannya, ayah tetap guruku.

Matahari mulai menyengat. Bubur juga sudah habis. Kudorong kembali kursi roda masuk rumah. Ibu melangkah ringan di sisiku.

Kukecup pelan dahi ayah. Kubisikkan sebaris doa dan salam. Lalu kucium ibu, sebelum aku berangkat kerja.

Terima kasih ayah, telah menorehkan kisah di hidupku.

~~~

*sebagaimana dikisahkan oleh seorang teman.
Tulisan ini telah termuat dalam antologi kisah "Ayah" bersama teman teman grup Easy Writing, diterbitkan oleh Azkiya Publishing tahun 2016

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeprat Jepret Bikin Baper

Selain keluarga, apa yang bisa membuatmu rindu rumah? Kalau aku jawabnya: makanan! Ya, makanan kampung halaman selalu menempati ruang tersendiri di hati. Dan lidah tentunya. Satu hal yang amat aku syukuri adalah aku tidak perlu pergi jauh-jauh pulang kampung jika kangen merasakan kuliner tradisionalnya. Tahu kenapa? Ya kan sekarang aku tinggal di kampung... :) Meski Temanggung adalah kampung halaman suami, tapi sudah seperti tumpah darahku sendiri. Hal lain yang membuatku bahagia adalah letak pasar yang berhadapan dengan rumah. Serasa surga.. hehe.  Tinggal nyebrang dan pilih mana yang disuka. Ini pula yang sering bikin kakak ipar cemburu. Karena dia harus menunggu libur lebaran untuk bisa njajan sepertiku. Dan sepertinya dia akan semakin baper kalau lihat jajan pasar dalam foto-foto berikut. KLEPON Dibuat dari tepung ketan yang diuleni dengan air dan sedikit garam. Dibentuk bola, diisi gula merah lalu direbus. Disajikan dalam baluran kelapa parut. Ada sensasi

Menjadi Penari Topeng Ireng, Sebuah Pengalaman Seru

Menjadi penari topeng ireng adalah hal yang tidak pernah terpikirkan apalagi direncanakan sebelumnya.  Tapi ini terjadi pada saya. :) Teman-teman mungkin ada yang belum tahu apa itu Topeng Ireng. Apakah menari dengan memakai topeng yang berwarna hitam? (ireng berarti hitam dalam bahasa Jawa) Saya dulu pernah menyangka demikian. Tapi ternyata salah besar.

Kulit Lebih Sehat dan Cerah dengan Scarlett Brightly Series Meski Menua Setiap Hari