Langsung ke konten utama

Aroma Luka Lalu

Val berusaha melupakan peristiwa delapanbelas tahun lalu itu. Kini dia sudah hidup bahagia bersama Hans dan empat anaknya yang manis dan pintar. Tidak ada alasan lagi untuk menangis. Meskipun ingin, tapi dia sadar bahwa itu tak ada gunanya lagi. Fokus dan harapan besarnya untuk kebahagiaan anak-anaknya lebih utama untuk dipikirkan.

Hans juga seorang suami yang sangat perhatian dan bertanggungjawab terhadap keluarga. Bahkan dia mau berbagi peran dalam mengasuh anak-anak. Apa lagi yang disesalkan dengan menjalani hidup selengkap ini? Beberapa kali Mel, adiknya, mengungkapkan kekaguman padanya, "Beruntung kamu Val, mendapatkan Kak Hans. Aku berharap aku nanti juga bisa mendapatkan laki-laki sepertinya." Val tersenyum mendengar perkataan Mel.

Namun, ketenangan dan kebahagiaan itu tidak semulus dan seindah yang dilihat orang. Ingatan dan kenangan yang lama membekas ternyata tak mudah hilang begitu saja. Serupa jejak yang selalu melekat ke mana pun dia melangkah.  Lalu menyerupai hantu yang datang tanpa kenal waktu. 

Delapanbelas tahun lalu, Val seorang mahasiswi yang berprestasi. Ditambah paras dan pembawaannya yang menarik membuatnya mudah dikenal dan populer. Banyak hati lelaki yang ingin memilikinya. Namun, hati Val hanya nyaman pada satu nama, Sam. Mahasiswa tingkat akhir sebuah institut seni yang juga sedang menanjak karirnya sebagai seorang pelukis. Sam telah memulai melukis jauh sejak sebelum menjadi mahasiswa pada perguruan tinggi itu.

Hampir lima tahun mereka saling berbagi perasaan, waktu dan perjalanan. Val melanjutkan jenjang kuliahnya sambil bekerja di sebuah agen perjalanan wisata. Meski sibuk dia selalu menyempatkan diri membantu Sam membuat pameran lukisan tunggal maupun bersama kelompoknya.

Sam sangat serius setiap menyiapkan pamerannya. Dia selalu ingin memberi yang terbaik dari karya-karyanya dan tak ingin mengecewakan penikmatnya. Namun, Val selalu dua kali lebih serius dari Sam. Detil memperhatikan setiap komponen yang dibutuhkan Sam untuk kesuksesannya. Hingga hal-hal kecil seperti selalu mengingatkan Sam untuk tidak terlambat makan dan menjaga kebersihan diri dan ruangannya.

"Kamu itu persis bapakku, Val." Sam mengacak rambut ikal Val.

"Kenapa?" Val menoleh cepat.

"Jadi seniman itu sama seperti pekerjaan yang lainnya. Kalau ruang kerjamu bersih pasti kamu akan semangat bekerja. Bapak sering berkata begitu."

"O, ya?"

"Kurasa ada benarnya meski mungkin nggak semua seniman begitu. Tapi yah, untungnya ada kamu di sini."

"Maksudmu, aku jadi petugas kebersihanmu, begitu? Enak saja!" Val mencubit lengan Sam lalu keduanya tergelak.

Pada waktu senggang mereka menikmati pagelaran sendratari atau pementasan teater maupun musik. Kadang sekadar menghabiskan waktu di tepi pantai atau menyusuri kesejukan kebun teh. Berbincang dengan para perempuan pemetik teh membuat keduanya mendapat banyak ide segar.

Akan tetapi, seumpama sebuah perjalanan tentu membutuhkan arah labuhan. Tak akan selamanya perahu hanya berlayar. Tak seterusnya roda kereta hanya berputar melindasi rel tanpa berhenti pada satu stasiun. Maka hubungan itu pun harus mulai menentukan ujungnya. Apalagi kalau bukan pernikahan.

Bukannya keduanya tidak serius mempersiapkan itu. Tapi ada satu penghalang besar yang membuat semuanya membeku ketika perbincangan mulai mengarah ke sana. Sebuah perbedaan yang sulit untuk disatukan, keyakinan.

Masing-masing sangat menghargai satu sama lain sehingga tidak ada satu pun dari mereka yang menarik yang lain untuk mengikutinya. Kian lama hubungan kian erat. Namun, untuk satu hal itu mereka kian beku. Hingga suatu hari yang kelabu datang....

Ketika itu Val berkunjung ke kota asal Sam. Val diterima dengan baik oleh keluarga besar Sam yang terpandang. Val menginap di salah satu paviliun keluarga Sam ditemani Nuk, sepupu Sam. Rencananya mereka berlibur di sana seminggu lamanya. Val sengaja mengambil cuti sambil menemani Sam yang sedang ada proyek seni di sana.

Hari ketiga Val di antara keluarga besar Sam di pulau dewata. Kakak adik dan sepupu yang hangat. Ayah yang tenang dan lebih banyak diam. Ibu yang semangat dan akrab. Setelah makan siang bersama, ayah ibu Sam mengundang Val secara pribadi menemui mereka. Sam sedang keluar mengurus pekerjaannya. Val mengikuti langkah sepasang suami istri itu di teras belakang yang teduh.

Val menduga akan ada sesuatu yang penting untuk mereka bicarakan padanya. Sedikit waswas, sedikit penasaran. Dalam hati dia menduga ini pasti tentang hubungannya dengan Sam. Apalagi kalau bukan tentang keyakinannya yang berbeda dengan seluruh orang di rumah besar ini.

"Val, kami minta...," terang suara ibu Sam membuka percakapan. Sejenak berhenti.

Val takzim mendengarkan. Pandangannya tepat menatap leher perempuan itu. Dia tak kuasa mengangkat sedikit lagi saja matanya. Sementara itu, ayah Sam duduk tenang di samping istrinya. Hanya helaan napas terdengar darinya.

"...ini terakhir kali kamu ke sini."

Serasa ada bom meledak di dalam dada Val. Dentumannya memusingkan kepala dan menulikan telinga. Susah payah Val menjaga dirinya tidak berguncang. Dalam satu tarikan napas panjang, dia tahu apa yang selanjutnya akan dia lakukan,

"Terima kasih, Tante, Om. Maafkan saya," Val menarik diri dari hadapan keduanya.

Bergegas dia menuju paviliun dan mengemasi seluruh pakaiannya. Nuk yang sedang tiduran heran melihat gadis yang dikaguminya meski baru dikenal.

"Nuk, aku harus kembali. Ada pekerjaan penting. Tolong pamitkan Sam, ya," Val berkata sebelum Nuk sempat bertanya.

Val menarik kopernya keluar paviliun. Terhenti di anak tangga depan pintu. Menyempatkan memegang dan menghirup aroma sekuntum bunga yang mengakrabinya tiga hari ini. Bunga kecil putih bernama kantil. Bunga yang menjulur tepat di depan hidung jika dia berdiri di tengah anak tangga itu. Seakan memberi salam setiap dia membuka pintu.

Itulah kali terakhir dia berkunjung di rumah itu. Terakhir pula berhubungan dengan semua penghuni rumah itu, termasuk Sam. Val kembali ke kota asalnya. Mengganti semua kontak. Menghilangkan semua jejaknya untuk menghilangkan jejak Sam di hatinya. Menutup semua akses supaya tidak bisa ditemukan oleh Sam. Meninggalkan Sam yang patah tanpa tahu mengapa dia terbang.

Roda kehidupan terus berputar. Tidak mudah, namun perjuangan selalu bisa disiasati. Val bertemu dengan seorang lelaki yang sangat yakin bahwa Val adalah jodohnya. Val pun meyakinkan dirinya. Barangkali lebih mudah menikah dengan seseorang yang mencintai kita. Setelahnya baru belajar mencintai. Hidup adalah perihal berlaku siasat.

Delapan belas tahun berlalu. Waktu mengajarinya mencintai Hans sepenuh jiwa. Empat anak yang manis dan pintar. Tidak ada alasan lagi untuk menangis. Tapi kadang hujan turun tanpa aba-aba.

Suatu siang yang terik, Val menjemput anaknya pulang sekolah. Mencoba mencari jalur lain yang lebih teduh, dia memutar lewat taman samping kantor kecamatan. Rimbun pohon peneduh memanggil angin lembut. Mengantarkan satu aroma yang lama tidak dihirupnya. Aroma yang begitu lekat namun tidak dia ingat.

Aroma wangi itu menerobos hidungnya menembus batas logika dan perasaan. Tiba-tiba dadanya terasa sangat nyeri. Tanpa disadari, air matanya menderas menghujan. Harinya biru seketika. Val berusaha menguasai dirinya. Menjaga setir tetap aman dan selamat sampai di rumah.

Val seakan kehilangan akal mengapa dia tiba-tiba membiru pilu. Aroma bunga tadi masih lekat di indera penciumannya. Tapi kemudian seakan terpampang dalam layar ingatannya. Sekuntum bunga kecil putih menjulur di hadapannya. Menyuguhkan aroma delapan belas tahun lalu.

Benar juga, aroma mampu membangkitkan kenangan akan sesuatu. Tapi sialnya, kenangan itu seringnya tentang luka. Tentang perih ketika rajutan kisah terkoyak di tengah jalan.

Tak kuasa menahan segala kebiruan hatinya yang tba-tiba, Val menghubungi Lea, sahabatnya yang dia rasa bisa mengerti. Pada Lea dia tumpahkan segala resah yang ditimbunnya selama ini seorang diri. Termasuk seluruh rasa penasaran akan kabar Sam sekarang.

Kepada sahabatnya dia jujur mengakui kalau dia masih menyimpan rindu pada lelaki masa lalunya itu. Sesekali dia mencari jejaknya di media sosial. Lalu ketika nama itu muncul di beranda, ada yang berdenyar hebat di dadanya dan merambat ke seluruh aliran darahnya. Tapi tak lama nalarnya lalu mengingatkan bahwa tak ada gunanya lagi pencarian itu. 

Lea menyarankakn satu hal yang langsung ditolaknya mentah-mentah. Menghubungi Sam dan jujur dengan perasaaannya? Oh, tidak!

"Cobalah. Kamu bahkan tidak pernah jujur pada dirimu sendiri kalau kau mencintainya. Perasaanmu itu butuh pengakuan, Val."

Val tertohok dengan kalimat Lea. Iya, dia pernah sangat mencintai Sam. Bahkan sekarang pun masih ada sisa rasa itu. Val pun teringat dulu Sam sering sekali meminta padanya, "Val, please say you love me." Permintaan yang Val anggap kekanak-kanakan karena menurutnya cinta tidak harus dikatakan. 

Naif menurut Val, tapi penting bagi Sam yang seorang mahkluk verbal. Baginya pengakuan itu sangat penting. Sepenting kehadiran dan penjelasan dari Val yang tahu-tahu menghilang tanpa jejak. Sam hampir gila karenanya. 

"Semua terserah dirimu, Val. Tapi tolong beri nama dan akui segala rasa yang ada di hatimu itu. Hanya kamu yang bisa, Val," bisik Lea lembut tapi cukup meruntuhkan hatinya yang berpura kuat. Lea berusaha meyakinkan sahabatnya untuk bisa self healing

Dengan dibantu Lea, sore itu Val berhasil menghubungi Sam. Membutuhkan kekuatan hati yang penuh untuk berani membuka percakapan lagi dengan Sam. Tak dipungkiri ada banyak ketakutan yang mengiringi rasa penasaran yang membuncah. Tapi benar, amuk gelombang rasa yang ada di dasar hati terdalam butuh diakui.

Ada basa-basi yang kikuk di sana. Ada gembira dan khawatir. Ada rindu dan kesakitan. Ada yang harus diakui dan diselesaikan sekarang juga.

"Sam, maafkan kepergianku saat itu," Val menguatkan suaranya.

"Val, aku yang harus minta maaf. Aku pun minta maaf mewakili orang tuaku, Val." Ada geletar yang sama di seberang sana.

"Tidak apa-apa, Sam. Aku hanya ingin berkata bahwa aku sangat menyayangimu saat itu, hingga aku tak mau orang tuamu kehilangan anak yang dicintai." Suara Val menegas.

"Val, aku bahkan tak bisa memaafkan diriku sendiri membiarkan wanita terbaikku terluka dan sakit."

"Jangan begitu, Sam. Aku sudah memaafkan semuanya. Kita syukuri saja yang kita punya sekarang. Lalu jalani hidup dengan benar. Bisa kan?" seperti ada tanah lapang berumput hijau sejuk di hati Val.

Hanya desah napas Sam yang terdengar. Sam yang terkejut sekaligus senang dihubungi Val secara tiba-tiba, adalah lelaki perasa yang sangat lembut budi. Dia sangat merindukan bisa bercakap dengan wanita terindah yang pernah menghias hidupnya. Yang pernah selalu diimpikan ada di sisinya selama sisa hidupnya. Namun Sam juga merasa dirinya adalah pecundang yang sangat lemah. Dia menyesal tidak menjadi pejuang tangguh yang mempertaruhkan apapun demi cintanya. Sam terisak lemah.

Telepon putus. Val menghapus riwayat panggilan beserta nomor telepon Sam. Perlahan biru di dadanya memudar. Itu pertama dan terakhir kalinya dia menghubungi Sam sejak perpisahan itu.

Benar saja yang dikatakan Lea. Mengakui rasa yang ada dan berani memaafkan, perlahan bisa menyembuhkan luka batinnya. Val juga tidak pernah ingin tahu dengan kabar Sam kini.  Setelahnya dan selanjutnya, Val bisa menjalani hari dengan benar-benar bebas. []

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeprat Jepret Bikin Baper

Selain keluarga, apa yang bisa membuatmu rindu rumah? Kalau aku jawabnya: makanan! Ya, makanan kampung halaman selalu menempati ruang tersendiri di hati. Dan lidah tentunya. Satu hal yang amat aku syukuri adalah aku tidak perlu pergi jauh-jauh pulang kampung jika kangen merasakan kuliner tradisionalnya. Tahu kenapa? Ya kan sekarang aku tinggal di kampung... :) Meski Temanggung adalah kampung halaman suami, tapi sudah seperti tumpah darahku sendiri. Hal lain yang membuatku bahagia adalah letak pasar yang berhadapan dengan rumah. Serasa surga.. hehe.  Tinggal nyebrang dan pilih mana yang disuka. Ini pula yang sering bikin kakak ipar cemburu. Karena dia harus menunggu libur lebaran untuk bisa njajan sepertiku. Dan sepertinya dia akan semakin baper kalau lihat jajan pasar dalam foto-foto berikut. KLEPON Dibuat dari tepung ketan yang diuleni dengan air dan sedikit garam. Dibentuk bola, diisi gula merah lalu direbus. Disajikan dalam baluran kelapa parut. Ada sensasi

Menjadi Penari Topeng Ireng, Sebuah Pengalaman Seru

Menjadi penari topeng ireng adalah hal yang tidak pernah terpikirkan apalagi direncanakan sebelumnya.  Tapi ini terjadi pada saya. :) Teman-teman mungkin ada yang belum tahu apa itu Topeng Ireng. Apakah menari dengan memakai topeng yang berwarna hitam? (ireng berarti hitam dalam bahasa Jawa) Saya dulu pernah menyangka demikian. Tapi ternyata salah besar.

Kulit Lebih Sehat dan Cerah dengan Scarlett Brightly Series Meski Menua Setiap Hari