"Wisah wisuh wae. Mlebu pasar kon wisuh. Mlebu toko kon wisuh. Mlebu omahe pak RT ya dikon wisuh. Nanging ora ana sing akon mangan," Pakde Mukidi menggerutu pada Leman yang sedang mencuci sepeda motornya. Dia mengeluh karena di mana-mana disuruh cuci tangan tapi tidak ada yang menyuruh makan setelahnya.
"Lha kan memang harus begitu, Pakde. Sering cuci tangan supaya tidak terkena virus. Masa minta makan?" sergah Leman.
"Ah, lha di rumah itu kalau habis cuci tangan langsung makan, je."
"Wuu, dasar tukang ngeyel!" Leman kesal sekaligus geli. Dia paham kalau Pakde Mukidi pasti hanya bercanda. Leman melanjutkan menggosok motornya.
"Eh, eh, Pakde, cuci tangan duluu!" Leman teriak waktu Pakde Mukidi nyelonong masuk teras rumah Leman dan menuju meja kecil dengan sepiring pisang goreng di atasnya.
"Halah, apa sih, Man? Dari tadi kan aku sudah cuci tangan di mana-mana. Kamu itu ya sama saja." Pakde Mukidi mendelik.
"Lho, ini prosedur, Pakde. Harus diikuti. Ayo, sini cuci tangan dulu baru. Nek ra manut taksemprot, lho," paksa Leman. Mau tak mau Pakde Mukidi menurut mencuci tangan di dekat pagar. Leman yang sudah selesai mencuci motornya lalu menemani Pakde Mukidi menikmati pisang goreng bikinan istri Leman.
"Eh, Man, sakjane corona itu masih ada nggak, to?'
"Ya masih, Pakde. Namanya saja virus. Sampai kapan pun bisa ada terus, makanya kita yang harus berubah," jawab Leman.
"Berubah gimana?"
"Ya mengubah kebiasaan-kebiasaan keseharian kita dengan kebiasaan baru yang lebih baik supaya tidak tertular atau menulari virus corona. Contohnya ya sering-sering cuci tangan itu tadi, Dhe."
"O ya, ya. Trus, selalu pakai masker kalau pergi pergi itu juga, to, Man? Seperti ini to?" tebak Pakde Mukidi sambil menunjuk masker yang tergantung di dagunya.
"Nah, itu Pakde tahu. Betul itu pakde. Pakai masker itu penting banget, lho, Dhe, untuk menjaga diri sendiri dan orang lain supaya tidak saling menulari."
"Lha iya. Sekarang aturan wajib pakai masker di mana-mana. Hla katanya kalau yang pergi nggak pakai masker sekarang bisa kena denda, kan, Man?"
"Oh, betul itu, Dhe. Supaya orang-orang pada tertib dan disiplin pakai masker. Istilahnya itu adaptasi untuk new normal life gitu, Dhe."
"Walah apa lagi itu nyunormalaif? Istilah kok werna-werna ta kawit ana korona iki."
"Haha, itu artinya kehidupan normal baru. Lha coba Pakde rasakan, kemarin-kemarin kan jarang ada orang pakai masker ke mana-mana. Palingan ya orang yang naik motor atau dokter gigi misalnya. Tapi sekarang semua orang wajib pakai masker kalau keluar rumah. Nah ini yang disebut normal baru."
"O gituuu."
"Ada lagi, Dhe. Kebiasaan normal baru itu nggak cuma cukup cuci tangan dan pakai masker saja. Tapi ya semua perubahan yang ada di kehidupan kita sehari-hari ini, termasuk cara kerja dan cara berpikir, Dhe. Dari gimana caranya masyarakat bertahan hidup di tengah kondisi yang tidak menentu, tetap bekerja mencari rejeki tapi harus juga menjaga kesehatan, sampai gimana caranya mendampingi anak-anak yang masih harus belajar di rumah saja dan hal hal lain yang tetap harus berjalan dan dijalani."
"Wah, kamu itu lama-lama kok mirip juru bicara covid itu. Siapa itu namanya yang sering ada di tivi itu?"
"Hayah pakde ini ada-ada saja. Juru bicara gugus tugas itu?"
"Iya, yang cantik itu. Wah aku seneng je kalau lihat dia itu. Siapa itu namanya?"
"Namanya dokter Reisa Broto Asmoro, Dhe. Hehe, kenapa kok senang lihat dia? Cantik banget, ya?"
"Iya, lho, cantiknya itu kebangeten. Aku kalau lihat dia sampai-sampai nggak paham apa yang diomongkan wong terbius kecantikannya."
"Woalah dasar Pakde bekas garangan. Budee..., Budee...! Ini lho Pakde Mukidi nakal!" teriak Leman keras-keras.
"Hish! Diem kamu, Man. Seneng ya nek aku digebuki budemu?" Pakde Mukidi melotot sambil tangannya mencomot satu pisang goreng.
- - -
salam yaa mbak untuk Pakde Mukidi.. seneng deh Pakdhe wisah wisuh wae. wwkwkk
BalasHapus