Di sudut kamar kayu, seorang gadis kecil sibuk mengikat batu di ujung rambutnya. Berharap dengan beban batu itu rambut keritingnya melurus. Dia tak ingin lagi menjadi bahan olokan teman dan nyinyiran tetangganya.
"Bobo dunia anak-anak, rambut kribo ambune sengak."
Makin dia mengingat lagu itu makin kencang dia mengikat batu di rambutnya. Seakan bisa menghilangkan kesal hatinya. Tapi lagu yang sering dinyanyikan temannya itu makin menggaung di telinganya.
Hatinya makin merah. Dia benci rambutnya. Dia tak henti bertanya kenapa dari lima bersaudara hanya dia dan kakak nomor dua yang keriting. Kakak dan adiknya yang lain berambut lurus indah. Semua terkesan bersih dan rapi. Rambut keritingnya sering membuatnya dikira belum mandi, padahal sudah sekuat tenaga dia menyisir. Namun rambutnya tak pernah mau menurut keinginan hatinya. Ujung rambutnya selalu mengarah sesukanya ke sana kemari.
Tapi itu dulu. Gadis kecil itu kini menjadi orang yang sangat bangga dengan rambut keritingnya meski sekarang selalu tertutup hijab. Gadis kecil itu adalah saya pada masa lalu.
Sekarang saya selalu tertawa mengingat kejadian itu. Bisa-bisanya mendapat ide untuk memberati rambut dengan batu supaya lurus. Haha. Nalar anak-anak kadang memang aneh. Hanya karena sering mendengar lagu yang menyerupai olokan lalu membuat saya kecil jadi malu dan marah dengan kondisi diri sendiri. Duh, kasihan ya.
Untungnya kondisi itu tidak berlarut-larut dan berkepanjangan. Saya melewati fase sakit hati yang tidak lama. Setiap malam ibu dengan telaten selalu meminyaki rambut saya dengan minyak cem-ceman bikinan simbah. Katanya supaya rambut saya hitam dan subur. Juga tidak gembel paginya.
Setiap meminyaki sambil menyisir ibu juga selalu memuji rambut saya yang tebal banyak. Tentu saja pujian itu ditujukan kepada yang memberi saya rambut, Tuhan sang pencipta. "Masyaallah rambute ketel ireng apik," begitu yang dibisikkan ibu.
Bisikan-bisikan rutin itu serupa mantra penguat diri. Saya jadi yakin kalau rambut di kepala ini begitu indah dan bagus walau beda dengan yang lain. Yaitu keriting.
Ibu pun sering membantu mengepang rambut saat pagi akan ke sekolah supaya rapi. Tak lupa masih membisikkan kalimat serupa. Ditambah, "Ibu pengen lho, Nduk, duwe rambut ketel kaya kowe. Iki deloken rambute ibu tipis. Mulane ibu kadang sok dikriting kae ben ketok akeh rambute."
Olala, rasa syukur itu makin berlipat-lipat. Iya juga, ya, ibu yang rambutnya lurus saja sering ke salon untuk mengeriting rambutnya supaya tampak tebal. Nah kenapa saya harus malu dengan rambut keriting ini? Lagipula kan bapak juga ikal keriting gitu. Jadi kan wajar kalau anaknya juga ada yang menuruni gen keritingnya. Hehe. Dan kalau dilihat-lihat, dengan rambut ikal keriting mekar ini wajah saya jadi makin manis, loh. :)
Sebenarnya ada banyak hal yang kadang mengganggu mood, mental dan pikiran. Sampai mengganggu kestabilan rasa percaya diri hingga penerimaan diri rendah. Namun support system yang baik dari keluarga terdekat dan lingkungan terbukti bisa memperbaiki kondisi tersebut.
Contoh nyata yang diberikan oleh ibu saya dan kakak adik yang tidak pernah mempermasalahkan kondisi fisik kami masing-masing. Selalu memberi dukungan yang terbaik kepada setiap anggota keluarga. Alhamdulillah sampai sekarang pun kami berlima selalu rukun dan saling support satu sama lain.
Sistem dukung yang baik ini membuat saya bisa menerima diri sendiri, lalu meningkat rasa percaya diri, dan bangga dengan apa adanya diri saya. Bahkan kemudian bisa memahami apa potensi yang saya miliki dan tahu cara memanfaatkan baik bagi diri sendiri maupun bagi sesama.
Konsep self love ini pula saya tularkan kepada ketiga anak-anak yang kini menginjak remaja dengan segala keunikan mereka masing-masing. Walaupun tentunya saya sebagai orang tua masih selalu dalam proses belajar untuk membentuk support system yang baik bagi mereka.
💓💓
Komentar
Posting Komentar