Langsung ke konten utama

Ngobrol Bareng Om Don Hasman, Sang Master Etnofotografi

Don Hasman atau yang akrab dipanggil Om Don nampak sangat enerjik dan bersemangat meski sudah seharian berkegiatan penuh menelusuri Temanggung. Minggu malam, 2 Februari 2020, bertempat di Angkringan Balakosa, Om Don menceritakan pengalamannya selama menjadi seorang etnofotografer yang sudah melanglang dunia dalam acara bertajuk Ngobrol Bareng Om Don. 



Mungkin banyak yang bertanya apa itu etnofotografi. Secara singkat, makna etnofotografi adalah kajian dalam antropologi sosial yang menekankan pada makna dari ekspresi budaya yang tertangkap melalui foto. Jadi foto digunakan sebagai data visual dalam sebuah penelitian antropologi.

Acara ini diikuti oleh lebih dari enam puluh fotografer dan pecinta fotografi dari seluruh Temanggung dan kota tetangga. Semua hadirin sangat antusias ketika menyimak cerita Om Don yang disampaikan dengan penuh semangat. Sungguh sebuah energi yang luar biasa dari seorang lelaki sepuh yang tahun ini memasuki usia delapan puluh tahun. 

Tentunya banyak yang sudah mengetahui bahwa Om Don adalah orang Indonesia pertama yang menjelajah pegunungan Himalaya, menjelajah seluruh propinsi dan kabupaten di Indonesia serta namanya juga masuk dalam 100 Famous Photographer in The World dari Pemerintah Perancis. Meski reputasi dan prestasi beliau sangat luar biasa, namun karakter dan pembawaannya tetaplah seorang yang rendah hati dan sangat menghargai orang lain terutama lawan bicaranya. 

selalu semangat namun tetap humble (pic: Hendri)
Pada awal acara hingga pertengahan, Om Don memperlihatkan foto-foto koleksinya selama dalam penjelajahannya ke berbagai belahan dunia. Hampir sama seperti karakternya yang sederhana, foto-foto Om Don pun sederhana namun indah dan berkelas. Itu karena keseluruhan hasil fotonya sangat bercerita, sangat memberi makna dan informasi. 

Pada setiap foto yang ditampilkan, Om Don tak henti menceritakan kisah yang terjadi di balik gambar tersebut. Tentang bagaimana beliau menemui dan mendekati masyarakat, bagaimana beliau mempelajari adat yang berlaku di sana, hingga bercerita tentang perjalanannya berjalan kaki selama 35 hari menempuh jarak lebih dari 1000 km ketika napak tilas perjalanan ziarah Santo Yakobus menuju Santiago de Compostela.

Om Don saat berjalan menyusuri jalur ziarah Santiago de Compostela (IG @donhasman)
Om Don di antara anak anak Kanekes (IG @donhasman)

Om Don juga merupakan satu-satunya yang bisa keluar masuk Baduy kapan saja, tentunya di luar hari-hari sakral. Dari pendekatan dan penelitian selama 37 tahun, pada tahun 2013 Om Don meluncurkan buku berjudul Urang Kanekes: Baduy People.

antusiasme teman teman keren sangat (pic: Hendri)
Teman-teman yang hadir malam itu terkesima mendengar kisah Om Don yang tak pelak memantik banyak pertanyaan di kepala mereka. Maka pada saat sesi tanya jawab dibuka, mereka berebut tanya. Lagi-lagi Om Don menjawab dengan semangat luar biasa namun tetap nampak kesantunan yang luar biasa pula. Ugh, ini benar-benar orang hebat, menurut saya. 

Dari beberapa pertanyaan teman-teman dan jawaban Om Don, ada beberapa hal yang menarik untuk dicatat, antara lain:
1. Foto yang bagus adalah foto yang menggugah perasaan ketika melihatnya. 
Tentu saja hal ini sangat relatif dan bisa diperdebatkan.
2. Jangan pernah meminta, tapi menabunglah sejak dini. 
Yah, ketika ditanya tentang dana perjalanannya yang tentu saja tidak sedikit itu, Om Don mengatakan bahwa dia gemar menabung. Tentunya apabila ada yang memberikan kebaikan ya boleh diterima.
3. Selalu menjunjung tinggi adat di mana kita berpijak. Mata kita memancarkan hati kita. Ketuk pintu hati warga setempat dengan kejujuran kita.
4. Selalu jaga stamina dengan istirahat (tidur) yang cukup, antara 6-8 jam setiap hari, dan rajin berolah raga. Olahraga paling baik menurut beliau adalah renang, karena tidak ada benturan, dan jalan cepat yang juga minim benturan.
5. Jika ingin melakukan perjalanan atau penjelajahan, sebaiknya jangan gunakan kamera baru dan sepatu baru. Gunakan kamera yang sudah kita kenal baik dan sepatu yang sudah nyaman dengan kaki kita. Ketika memilih sepatu pun sebaiknya pilih 1 nomor lebih besar dari ukuran kaki kita, lalu siasati dengan kaos kaki.

mas ini nanyanya semangat banget, deh (pic: Hendri)
Ketika ditanya mengapa Om Don memilih etnofotografi, beliau menjawab karena kalau beliau bukan yang memilih, mungkin tidak akan ada yang memilihnya.  Yah, karena menjadi seorang etnofotografer harus rela berkorban uang dan waktu yang tidak singkat. Karena etnofotografi tidak bisa dilakukan dalam waktu kurang dari sepuluh tahun. Tentunya butuh komitmen dan konsistensi yang luar biasa.

Untuk menghemat biaya perjalanan, Om Don rajin loh hunting tiket tiket promo. Beliau juga tak segan menginap di masjid, rumah kepala desa atau bahkan kantor polisi. Lagi lagi Om Don mengingatkan untuk selalu bersikap baik, jujur, ikhlas berbagi dan tunjukkan niat baik kita kepada masyarakat setempat sebelum memotret.

Ah, sungguh sebuah pesan sederhana yang sangat mulia. Pantas saja Om Don begitu dicintai siapa saja yang ditemuinya baik di dalam maupun luar negeri. 

Obrolan malam itu mungkin akan berlangsung sampai pagi jika saja Ika Permata sang moderator tidak menghentikan dan menutup acara dengan terpaksa. Meski mungkin teman-teman belum puas mendengar kisah Om Don, namun mereka merasa sangat senang karena sudah dikunjungi oleh sang Master Etnofotografi kebanggaan Indonesia ini. Setelahnya mereka memuaskan diri untuk berfoto bersama Om Don yang sangat hangat.

mas Sigit founder IDS sahabat Om Don (pic: Hendri)
Hadirnya Om Don di Temanggung tak lepas dari jasa besar sahabat beliau, Mas Wahyu Sigit, kakak kami yang juga orang asli Temanggung. Mas Sigit adalah pendiri Indonesia Dragonfly Society (IDS), komunitas yang intens dan peduli terhadap capung agar lestari. Lebih lengkap tentang IDS dan capung saya tulis nanti, ya.

Fiuuh, segala syukur kami panjatkan karena acara dadakan yang dihelat ini berjalan sesuai rencana. Semangat dari teman teman penggagas acara didukung oleh nama besar Om Don mampu menjaring peserta bahkan melebihi dari target. Hanya dalam waktu kurang dari lima jam sejak pendaftaran dibuka, kami terpaksa menutupnya kembali.

hepi banget ya mereka. huhuii (pic: Cuplis)
Terima kasih teman teman, terima kasih Mas Sigit, terima kasih On Don, terima kasih semua peserta.  Semoga semangat kita malam itu selalu terjaga. 
Oya, sebelum berpisah tak lupa kami, saya dan Ika Permata menyerahkan suvenir sederhana karya kami sendiri kepada Om Don. Sebuah buku karya Ika dan satu syal shibori buatan saya, semoga Om Don senang menerimanya dan semoga bermanfaat.

semoga berkenan menerimanya, ya, Om (pic: Cuplis)
Baidewe kalau teman teman mau syal serupa, bisa kok pesan langsung ke saya. Hihi, teteup promo yak. 
So, begitulah kesan dan cerita saya sepulang dari Ngobrol Bareng Om Don. Adakah teman pembaca punya kesan khusus tentang beliau? Berbagi yuk di kolom komentar.

Komentar

  1. Baca tulisan bu dini aja sangat menginspirasi, tentang perjalanan yang ngirit ����

    BalasHapus
  2. Hwaa tipsnya bener banget, aku kadang suka salah pilih kostum pas mau foto-foto gitu malah pakai sepatu kesayangan, alhasil gabisa bebas dan malah khawatir ni sepatu kotor atau lain-lain wk

    BalasHapus
  3. Wuihh ... acara yang sangat keren nih, Mbak Din. Bisa belajar banyak tentang fotografi sekaligus budaya dari pakarnya langsung!

    Iya saya setuju dengan menjunjung tinggi adat dan budaya lokal dimana kita singgah. Kita belum tentu bisa menerapkan budaya kita ke budaya orang lain. Jadi harus sopan dan menghormati budaya setempat, meskipun kadang kurang sreg gitu.

    BalasHapus
  4. TRIms mbaa..sudah dirangkum kan kesimpulan dr sharing beliau ini. Penting banget utk kita tahu dan oraktekkan ya..

    BalasHapus
  5. Etnofotografi seru banget pasti dan butih kesabaran banget. Plusnya bisa belajar banyak tentang budaya setempat. Thanks for sharing mbak aku bintangin ah

    BalasHapus
  6. Ehh aku baru tau mbak. Suka ya dengan beliau yg mempelajari etnofotografi bisa memberikan pembelajaran buat masyarakat

    BalasHapus
  7. Wah2 seru ya mb Din ngobrolin om Don dan etnofotografi..bisa menambah ilmu..humble bgt y om Don sampai2 nginep d mesjid. Pdhl udh kmn2 sampai Himalaya juga..keren

    BalasHapus
  8. Wah aku sebenarnya pengen liat koleksi foto om don. Sayangnya nggak ada ya mbak. Apa ga boleh fotonya dinfoto ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. bisa dilihat di Instagramnya mba, itu klik naam om Don di awal tulisan. oya, boleh deh saya tambahkan di sini. makasih mba Hap.

      Hapus
  9. Pelajran berharga baru buat aku mba Din
    Beliau sudah banyak makan asam garam hidup jadi petuahnya sangat menyejukkan

    BalasHapus
  10. Salut sama Om Don yang menekuni bidang entografi ini. Jadi banyak pelajaran berharga yang bisa kita dapatkan dari poengalaman beliau. Walau saya gak ikutan acaranya, tapi tulisan Mb Dini cukup mewakilkan ya. Makasi ya Mb

    BalasHapus
  11. Waw pengalamannya Om Don ternyata penuh dengan makna ya dan tips yang bisa ditiru nih. Makasih sharingnya.

    BalasHapus
  12. Keren nih Temanggung bisa menghadirkan Don Hasman. Dulu di kampus, di grup pencinta alam pernah mengundang beliau untuk melakukan pelatihan jurnalistik alam bebas. Tapi aku lupa, beliau waktu itu datang apa enggak ya.

    BalasHapus
  13. Tips nya oke mbak, dan bener deh di mana kita berada harus menghormati warga setempat. Aku pun kalo mau motret minta ijin dulu, agar lancar juga ambil gambar

    BalasHapus
  14. Saya baru tahu, ternyata sebuah foto bisa berbicara tentang rasa. Kayak lagu, ya. Dan seperti lagu, gak semua orang bisa memahami nada dan lirik. Sama juga foto. Jadi, salut buat Bapak Don.

    BalasHapus
  15. Yay, barengan mbak Dini nih, sudah pernah ngobrol langsung dengan om Don.
    Beliaunya super ramah dan nggak pelit berbagi kisah ya.

    Dulu aku ketemu di Dompu.
    Pas om Don ada trip ke Kawinda Toi, ekspedisi Gunung Tambora

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeprat Jepret Bikin Baper

Selain keluarga, apa yang bisa membuatmu rindu rumah? Kalau aku jawabnya: makanan! Ya, makanan kampung halaman selalu menempati ruang tersendiri di hati. Dan lidah tentunya. Satu hal yang amat aku syukuri adalah aku tidak perlu pergi jauh-jauh pulang kampung jika kangen merasakan kuliner tradisionalnya. Tahu kenapa? Ya kan sekarang aku tinggal di kampung... :) Meski Temanggung adalah kampung halaman suami, tapi sudah seperti tumpah darahku sendiri. Hal lain yang membuatku bahagia adalah letak pasar yang berhadapan dengan rumah. Serasa surga.. hehe.  Tinggal nyebrang dan pilih mana yang disuka. Ini pula yang sering bikin kakak ipar cemburu. Karena dia harus menunggu libur lebaran untuk bisa njajan sepertiku. Dan sepertinya dia akan semakin baper kalau lihat jajan pasar dalam foto-foto berikut. KLEPON Dibuat dari tepung ketan yang diuleni dengan air dan sedikit garam. Dibentuk bola, diisi gula merah lalu direbus. Disajikan dalam baluran kelapa parut. Ada sensasi

Menjadi Penari Topeng Ireng, Sebuah Pengalaman Seru

Menjadi penari topeng ireng adalah hal yang tidak pernah terpikirkan apalagi direncanakan sebelumnya.  Tapi ini terjadi pada saya. :) Teman-teman mungkin ada yang belum tahu apa itu Topeng Ireng. Apakah menari dengan memakai topeng yang berwarna hitam? (ireng berarti hitam dalam bahasa Jawa) Saya dulu pernah menyangka demikian. Tapi ternyata salah besar.

Kulit Lebih Sehat dan Cerah dengan Scarlett Brightly Series Meski Menua Setiap Hari