Langsung ke konten utama

Minat Baca Luar Biasa dari Pengalaman Keluarga Biasa

Saya tidak ingat pasti kapan pertama kali bisa membaca. Yang saya ingat, ketika bu Warsiti mengajar mengeja 'i-ni bu-di' di kelas satu SD, saya sudah membaca buku itu sampai halaman akhir. 
Ulangan dikte juga jadi satu pengalaman yang sangat saya sukai. Malahan sering meminta ulangan dikte pada bu guru anggun yang selalu memakai kain dan kebaya setiap hari, bahkan ketika mengajar. Sungguh outfit yang sungguh unik, namun biasa bagi beliau. 


Dini kecil sangat haus cerita. Barangkali karena sering mendengar dongeng dari ibu, pakde dan simbah. Hingga ketika dongeng yang hampir sama selalu didengarnya tidak lagi memuaskan, dia mencari di buku-buku bacaan. 

Zaman itu buku adalah barang mahal. Koran dan majalah juga belum banyak yang langganan. Namun, bapak ibu yang merupakan  PNS golongan rendah mengalokasikan dana untuk berlangganan Suara Merdeka dan Panjebar Semangat, majalah berbahasa Jawa.  Alokasi dana yang lumayan di samping biaya makan sekeluarga dan sekolah untuk lima anak. 

Dini belia tidak bisa menolak untuk membaca artikel yang tidak untuk usianya. Dia bahkan membaca apa saja meski tidak dipahaminya. Rubrik cerpen dan cerita anak menjadi obyek yang dicarinya. Setelah itu setiap kata di setiap halaman dibaca habis. Meski setelahnya lupa apa yang telah dibaca. 

Simbah putri, meski kadang menjadi musuh dalam beberapa hal, sekaligus jadi panutan. Simbah sangat suka membaca. Beliau adalah pembaca koran pertama tiap pagi setelah loper mengantar. Tidak ada orang lain yang berani membaca sebelum simbah. 

Simbah bahkan hapal nama-nama menteri di setiap kabinet hingga nama pejabat lain termasuk duta besar. Simbah juga mengikuti setiap kejadian yang ada di negeri ini berikut kebijakan pemimpin. Bisa dikatakan simbah adalah koran berjalan. 

Setiap habis membaca koran di pagi hari, simbah menuju warung bubur Mak Yem yang ada di tepi jalan besar. Di sana simbah menceritakan pada setiap orang yang beliau temui tentang kabar yang habis dibacanya. Waktu itu ibu dan mas mas sering mencandainya, "Simbah mau siaran warta berita." Hihi. Tapi simbah tidak peduli. 

Saya pernah bertanya pada simbah dari siapa simbah belajar membaca karena simbah sama sekali tidak pernah bersekolah. 
"Dulu anak perempuan tidak boleh sekolah. Tapi simbah nekat mengikuti kakak laki-laki simbah ke sekolah dan mengintip dari jendela," kisahnya. Sejak itu simbah bisa membaca dan menulis meski tidak pernah bersekolah. 

Semangat simbah itu menular. Benar kata pepatah buku adalah jendela dunia. Dari membaca kita bisa tahu segalanya. Tapi bacaan di rumah hanyalah surat kabar harian dan majalah mingguan berbahasa Jawa yang kadang lelah juga membacanya. Kemudian buku-buku pelajaran menjadi pelampiasan. Tidak peduli apa pelajarannya, buku paket pinjaman dari sekolah jadi sasaran bacaan. Semua saya anggap sebagai buku cerita. Tetap saya baca tak peduli meski tidak paham. Entah mengapa bisa demikian. Suka membaca bukan berarti saya tidak pernah main keluar bersama teman-teman. Dini kecil tetap seorang anak perempuan berotot yang gemar main kejar-kejaran dan pasaran kadang-kadang.

Waktu itu hanya anak-anak yang beruntung yang bisa berlangganan majalah khusus anak yaitu Bobo. Tapi tidak dengan kami. Jika ingin berlangganan Bobo maka ibu harus menghentikan langganan Panjebar Semangat. Tapi langkah itu tidak diambil karena lebih banyak manusia di rumah kami yang akan membaca Panjebar Semangat dibanding Bobo.

Tapi kami, saya, kakak dan adik  tak kurang akal. Di kampung sebelah yang terpisahkan oleh sungai ada sebuah persewaan buku. Setiap hari kami melewati tempat itu ketika berangkat dan pulang sekolah. Ibu pun tidak keberatan memberi uang untuk menyewa buku-buku di sana. Toh ibu lebih menyukai itu daripada untuk jajan. Dengan jumlah uang yang sama, kami bisa menyewa lebih banyak buku dibanding membeli satu majalah Bobo baru. 

Ugh, sungguh menyenangkan berada di penyewaan itu. Dari komik segala cerita, buku cerita bergambar, majalah anak, hingga novel yang hanya boleh dibaca bulik dan paklik saya ada di sana. Ah, ketika itu saya penasaran kenapa ada novel yang tidak boleh dibaca anak-anak. Haha.

Kalau bisa meminjam lebih dari tiga buku sekaligus rasanya hebat sekali. Terlebih jika nama kita sering tertulis di buku tebal nan lusuh milik sang pemilik persewaan. Makin hebat rasanya. Haha. Sungguh kebanggaan yang istimewa. 

Berkumpul di ruang tamu yang juga berfungsi sebagai ruang keluarga adalah cara kami membunuh waktu bersama. Kemiskinan dan keterbatasan yang menguntungkan. Kadang tidak hanya simbah putri, bapak, ibu dan lima anak saja yang ada di ruang itu. Tapi ada juga beberapa tetangga dan kadang penjual bakso keliling yang ikut istirahat di emperan depan rumah. 

Saya bilang menguntungkan karena dari sering berkumpul itu ada banyak cerita yang keluar dari mulut siapa pun yang hadir. Selain cerita dan siaran televisi yang sering mati karena aki habis, membaca juga jadi satu aktivitas yang ada di dalam ruang itu. Pada akhirnya saya jadi paham mengapa bapak tetap berlangganan koran meski kadang kami sulit makan. Ternyata banyak tetangga kami yang sering ikut mencari warta dari koran dengan membaca di rumah kami. 

Keinginan kami membaca Bobo bisa terwujud kemudian. Bukan majalah baru tapi kami sangat bersyukur. Jadi ceritanya, ibu bermaksud meminjam majalah Bobo dari Bu Pardi, teman ibu yang berlangganan Bobo buat putranya. Tapi Bu Pardi justru memberikan banyak sekali Bobo lama yang sudah menumpuk di rumahnya. Tentu saja ibu tidak menolaknya. Kami pun menyambutnya girang. Secara berkala Bu Pardi mengirimkan setumpuk majalah Bobo yang telah dibaca putranya. Saya tidak akan melupakan kebaikan Bu Pardi sampai kapan pun.

Mas Tiko, kakak sulung, mulai membaca majalah remaja Hai. Saya yang waktu itu masih SD ikut membacanya. Pakde kami yang seorang guru sekolah teknik berlangganan Intisari. Saya juga ikut membacanya. Kakak dari pacar mas Tiko punya koleksi novel Agatha Christie, saya minta ijin  meminjam dan membacanya. Semua menemani saya tumbuh bersama dengan komik H.C. Andersen, Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, Sapta Siaga-nya Enyd Blyton, Lucky Luke, Asterix Obelix, Donal Bebek, Smurf hingga Wiro Sableng yang semuanya dapat dari meminjam dan menyewa. Ada juga majalah Kuncung yang dibawakan ibu dari sekolahan dan banyak buku lain yang saya pinjam dari perpustakaan sekolah.

Sekali lagi saya katakan, kemiskinan dan keterbatasan yang menguntungkan. Hiburan kala itu hanyalah bermain dan mendengarkan cerita dari mulut-mulut orang dewasa di rumah. Cerita yang memantik keingintahuan sehingga kami mencarinya di seluruh penjuru halaman buku. Lalu orang-orang dewasa itu pula berganti mendengarkan ocehan kami yang semangat menceritakan isi buku yang selesai kami baca. Tak jarang tepuk tangan dan pujian hadir menimpali kalimat kami para anak kecil. Kami juga bebas mencoret-coret papan tulis hitam yang tergantung di dinding kayu untuk memperjelas cerita kami. Senyampang mendengarkan cerita tak jarang ibu membetulkan tulisan tegak bersambung yang saya buat. "Jangan lupa ekornya selalu naik, ya," ibu menyambung tulisan saya dengan kapur.

Gelombang dongeng yang menderu bersama bombardir cinta secara sederhana dari semua anggota keluarga dan teladan nyata dalam praktek literasi sehari-hari terbukti membangkitkan minat baca kami. Meski saya tahu pasti, ketika itu bapak dan ibu tidak belajar sedikit pun teori parenting seperti yang gencar disuarakan seperti sekarang ini. Bahkan banyak sekolah atau seminar khusus tentang kepengasuhan yang memang sangat penting ini.

Pengalaman menyenangkan masa kecil ini begitu membekas. Hal ini pula yang coba saya bawa dalam keseharian kami saat ini bersama anak-anak, meski ujian dan cobaan saat ini jelas ada dan beda seiring zaman. Ketika fasilitas serba ada, buku-buku banyak tersedia, gawai pun selalu ada, tantangan lain pun menyertai. Namun setidaknya, dengan perlakuan yang hampir sama, praktekkan literasi sehari-hari, anak pun terpantik minat bacanya.

Kalau pengalaman kalian bagaimana say? Cerita yuk di kolom komentar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeprat Jepret Bikin Baper

Selain keluarga, apa yang bisa membuatmu rindu rumah? Kalau aku jawabnya: makanan! Ya, makanan kampung halaman selalu menempati ruang tersendiri di hati. Dan lidah tentunya. Satu hal yang amat aku syukuri adalah aku tidak perlu pergi jauh-jauh pulang kampung jika kangen merasakan kuliner tradisionalnya. Tahu kenapa? Ya kan sekarang aku tinggal di kampung... :) Meski Temanggung adalah kampung halaman suami, tapi sudah seperti tumpah darahku sendiri. Hal lain yang membuatku bahagia adalah letak pasar yang berhadapan dengan rumah. Serasa surga.. hehe.  Tinggal nyebrang dan pilih mana yang disuka. Ini pula yang sering bikin kakak ipar cemburu. Karena dia harus menunggu libur lebaran untuk bisa njajan sepertiku. Dan sepertinya dia akan semakin baper kalau lihat jajan pasar dalam foto-foto berikut. KLEPON Dibuat dari tepung ketan yang diuleni dengan air dan sedikit garam. Dibentuk bola, diisi gula merah lalu direbus. Disajikan dalam baluran kelapa parut. Ada sensasi

Menjadi Penari Topeng Ireng, Sebuah Pengalaman Seru

Menjadi penari topeng ireng adalah hal yang tidak pernah terpikirkan apalagi direncanakan sebelumnya.  Tapi ini terjadi pada saya. :) Teman-teman mungkin ada yang belum tahu apa itu Topeng Ireng. Apakah menari dengan memakai topeng yang berwarna hitam? (ireng berarti hitam dalam bahasa Jawa) Saya dulu pernah menyangka demikian. Tapi ternyata salah besar.

Kulit Lebih Sehat dan Cerah dengan Scarlett Brightly Series Meski Menua Setiap Hari