Langsung ke konten utama

Sofiyudin Ahmad, Ksatria Penggerak Desa Muncar Moncer

Muncar, sebuah desa yang terletak di ujung utara Temanggung. Wilayah yang kental dengan mitos, tapi juga memiliki tanah yang subur penuh harapan. Alamnya yang cantik nan eksotik, bak surga tersembunyi karena lokasinya yang menjorok. Bentang alam dan jarak memisahkan Muncar jauh dari pusat kota. Pastikan kendaraan kita dalam kondisi baik jika ingin menjejak ke tanah Muncar.



Kesederhanaan Muncar tergambarkan dengan sulitnya akses perjalanan. Medan yang curam memberi jarak kakunya interaksi antar dusun desa ini. Listrik padam hampir berjelajah setiap hari. Keterbatasan akses internet menambah dinginnya komunikasi ditengah gencarnya era gemerlap teknologi. Dibalik eloknya kesederhanaan, terdapat banyak sisi yang harus diperbaiki. Gradasi pendidikan merupakan sebuah tantangan menuju kemakmuran.



Lahirnya Muncar Moncer
Muncar diharapkan menjadi desa yang moncer. Moncer diartikan sebagai titik kesejahteraan dan kecukupan. Lahirlah sebutan Muncar Moncer dengan harapan kelak desa ini akan tumbuh moncer penuh kesejahteraan dan keberkahan.

Potensi dan harapan yang belum tergarap itu membuat gelisah seorang pemuda bernama Sofiyudin Ahmad. Sebagai seorang fasilitator Desa Sejahtera Astra, dia merasa ada satu amanah yang harus diselesaikan di ujung Bhumi Phala, sebutan masyhur kota Temanggung. Setelah melalui masa perenungan, dengan berbekal keberanian dia lalu bergerak bak kincir.

Tidak pernah ada awalan yang mudah. Cibiran bahkan cercaan sering hinggap di telinganya. Namun, semua itu tak pernah dihiraukan demi tercapainya misi semesta. Penolakan membuat ia semakin kokoh dengan segenggam keyakinan. Yakin bahwa niat baik akan berujung indah dan bermuara pada kesejahteraan.

Agar diterima oleh masyarakat, ia harus memahami cara mereka berfikir. Mengikuti arah kebiasan yang mereka jalani. Sofiyudin mengubah bahasa langit menjadi bahasa bumi, bahasa bumi menjadi bahasa jalanan. Gradasi perbedan baginya bukan penghalang namun sebuah peluang melahirkan ketegangan positif berupa kreativitas, inovasi dan kebaikan. Ia mampu membaur dan diterima masyarakat karena gaya uniknya yang nyentrik. Prinsipnya yaitu ndableg positif. Tidak menghiraukan cacian dan makian selagi berjalan dalam langkah kebaikan.

Ketulusanya terbaca jelas oleh sebagian masyarakat luas. Kini namanya tersohor dibanyak kalangan. Mulai dari generasi pemuda, kelompok tani, kelompok sadar wisata sampai ke pemerintahan desa. Sofiyudin Ahmad memberi banyak perubahan, menyulap desa terujung dengan minimnya kreasi menjadi desa wisata berbasis budaya lokal yang mulai banyak dikenal.Muncar semakin moncer.

Seiring berjalannya waktu, Muncar makin dikenal. Banyak wisatawan lokal maupun mancanegara berkunjung ke sana. Bahkan dilirik menjadi lokasi syuting oleh produser.

Komoditas lokal yaitu kopi dan gula semut pun makin diminta oleh pasar luas. Gardu pandang Bukit Mbelang menjadi satu tujuan untuk menikmati keindahan alam desa. Jembatan kayu di atas persawahan pun mempercantik parasnya. Sofiyudin juga mengajak warga memaksimalkan digitalisasi untuk memajukan desa melalui branding yang tepat. Namun, tidak berhenti di sini, Sofiyudin masih melihat ada lubang permasalahan lain yang harus ditambal dengan manis demi kemajuan Desa Wisata Muncar yang berkelanjutan.

Permasalahan Pemuda di Desa Muncar
Letak geografis desa membuat corak masyarakatnya beragam. Keragaman itu merujuk pada latar pendidikan pemudanya. Tidak sedikit pemuda yang memilih meninggalkan Muncar untuk merantau beradu nasib atau sekedar menimba pengalaman. Karena menurut pemahaman pemuda, jika terus berada di Desa Muncar mereka akan stagnan atau tidak dalam arus kemajuan. Sebagian lagi masih bekutik dengan banyak kepasrahan. Perbedaan latar belakang pendidikan dan geografis yang memisahkan antar dusun dan antar generasi semakin membuat kecanggungan.

Sementara Muncar telah menjadi Desa Wisata dengan banyak sorotan, produktivitas olahan makanan mulai berkembang dan keindahan alamnya banyak dikenal. Sayang sekali jika kreatornya hanya generasi tua saja. Hal ini kan lebih parah jika generasi tua sudah tidak mampu bergerak. Pasti akan memadamkan roda dari tim penggiatnya itu sendiri. Generasi pengganti tidak akan mengetahui bagaimana cara merawat, meruwat dan merawit dalam mempertahankan desa wisata agar terus berkelanjutan.

Hal tersebut yang memicu Sofiyudin untuk mencoba masuk dalam ranah pemuda Muncar agar ikut andil dalam merawat, meruwat dan merawit desanya sendiri. Merawat berarti menjaga dan memelihara.Meruwat adalah usaha dalam menghindarkan dari mara bahaya. Agar mendapatkan keberkahan berupa keselamatan, kesehatan, kedamaian, ketentraman, jiwa, kesejahteraan dan kebahagiaan. Sedangkan merawit berarti melibatkan diri untuk mengelola atau menumbuhkan sesuatu yang baru.

Permasalahan tidak hanya sampai pada kecanggunggan komunikasi antar pemuda. Serta lunturnya kepedulian untuk membangun desanya. Namun menjalar sampai ketidakmauan pemuda dalam mengelola lahan pertanian atau perkebunan orang tuanya.

Sofiyudin mengajak dan mengedukasi para pemuda untuk mau melanjutkan peran mulia kaum tua sebagai petani. Regenerasi petani ini harus terus dilakukan untuk mengantisipasi hilangnya profesi mulia ini. Juga untuk menanggulangi hilangnya lahan pertanian yang merupakan ancaman yang nyata.

Petani adalah produsen yang mampu bertahan diberbagai zaman. Kelak jika Nusantara ini dilanda krisis ataupun gejolak ekonomi yang meporak-porandakan. Petani merupakan garda terdepan sebagai pusar untuk bertahan perihal pangan. Muncar ataupun merambat ke Tanah Bhumi Phala akan mandiri dengan banyak kreasi ditengah guncangan dan gejolak krisis pangan.



Pemantik Penyatuan Pemuda dengan Program Bethari Sri
Dengan pembuatan ramuan yang panjang, melalui tangan dingin Sofiyudin, lahirlah Program ‘’Bethari Sri’’ sebuah program pemantik permulaan untuk pemuda Muncar dalam pengembalian jati diri sebagai pejuang desanya sendiri. Bethari Sri memiliki arti sebagai regenerasi petani untuk bumi pertiwi.

Bethari Sri atau Dewi Sri merupakan tokoh mitologi penjaga padi petani dari hama atau wareng yang ada dilahan pertanian. Program ini bertujuan untuk memberi motivasi kepada pemuda bahwa menjadi petani adalah tugas yang mulia. Petani bisa bertahan di berbagai zaman atau dalam kondisi sulit sekalipun.

Banyak petani milenial yang melahirkan inovasi dan kreasi menggunakan berbagai cara pendekatan selaras dengan jalan alam. Pesan-pesan tersebut yang ingin disampaikan oleh Sofiyudin. Pemuda di Muncar harus bisa menjadi Dewi Sri untuk desanya sendiri. Menjaga dari hama atau oknum yang ingin menggerus dan menjajah desa Muncar yang sudah mulai akan terjaga.

Buah dari program Bethari Sri mulai menghembuskan angin. Meski bergerak pelan namun mampu menggerakan kincir pemudanya. Kincir mulai bergerak, Sofiyudin Ahmad mulai tersenyum lega, sehingga khawatirnya mulai mereda. Buah dari pemantik mulai menghasilkan perubahan. Hubungan baik antar dusun semakin romantis. Garis kecanggunggan semakin luntur, semangatpun berkobar secara otomatis. Pemuda di Desa Muncar semakin tergugah akan pentingnya petani milenial dengan sentuhan pengetahuan lokal dengan perimbangan teknologi.

Kegigihan Sofiyudin berhasil membawa pulang pemuda yang merantau. Tanpa paksa dan rayuan semua berjalan mengalir begitu saja. Seolah alam memberi restu untuk semua kemudahan melalui keajaibannya. Dalam memberdayakan desa Muncar melalui pemuda, Sofiyudin tidak mendominasi peran. Ia sering mendengarkan kebutuhan, masalah dan potensi yang pemuda tuangkan. Menggunakan pendekatan kebersamaan Sofiyudin mengajak mereka berpetualang dengan menyisipkan nilai-nilai kehidupan.



Membangun Titik Creative Hub
Dengan suntikan dana dari Astra, Sofiyudin bersama seluruh warga desa bergotong royong membangun sebuah bangunan sebagai titik creative hubmenjadi wadah pemuda untuk menuangkan semua inovasi, kreativitas, gagasan, imajinasi dan rangkaian ide yang tidak terbatas. Mengembangkan lintas generasi dalam elaborasi yang berpegang pada keberlanjutan berbasis teknologi dan data tanpa meninggalkan pengetahuan lokal.

   
Menyiasati sulitnya akses internet dengan mempertemukan titik temu pemuda. Bukan sekedar pertemuan tanpa arah, namun kebebasan dalam menuangkan semua ide yang pemuda dapatkan. Creative Hub hadir sebagai penghubung lintas generasi ataupun lintas dusun di Desa Muncar untuk meluruhkan garis kecanggunggan atau kemangkrakan inovasi.

Melalui bangunan Creative Hub pemuda Desa Muncar lebih mendominasi peran.Hujam panah media sosial turut andil memberi banyak perubahan. Mekipun berada di pojok terujung Bhumi Phala, namun harumnya sampai dengan titik Nusantara.

Adanya Tim Creative Muncar Moncer yang akrab dengan julukan ‘’Serdadu Tempur’’ memberi loyalitas tanpa batas. Menyusun program dan merancang gagasan, sehingga seluruh program terorgansir dan mulai terberdayakan. Gradasi latar pendidikan yang heterogen tidak lagi menjadi penghambat pemuda maju ke depan. Namun saling mengisi dan melengkapi dengan menambal dari banyak sisi.

Muncar kini moncer. Gaungnya terdengar hingga pelosok nusantara. Kesejahteraan warga desa pun meningkat. Kebanggaan pada diri dan potensi desa mulai tebal di dada setiap warganya. Namun, melihat semua itu tidak menjadikan Sofiyudin besar kepala. Justru dengan rendah hati dia menyatakan bahwa masih banyak hal yang perlu dibenahi.

Pedoman dan Nilai 
Berpedoman pada semboyan Ki Hajar Dewantara yaitu Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani, Sofiyudin betul-betul meleburkan diri dan jiwanya dalam setiap gerak bersama seluruh warga Desa Muncar. Bahkan lebih dari itu, dia juga meleburkan doanya dan doa-doa seluruh warga demi mengemban amanah yang tidak ringan ini. 

Sofiyudin Ahmad, Sang Ksatria ini, berperan sebagai api dalam mengobarkan semangat pemuda dan warga, menjadi angin yang kuat untuk menggerakkan kincir perubahan, dan menjadi air yang menyejukkan harapan warga.

Meski demikian, dia pun tidak pernah mengabaikan peran serta aktif dan semangat perubahan dari seluruh elemen masyarakat dalam porsi masing-masing. 

Pesan yang sering ia gaungkan adalah mengajak pemuda untuk menjadi garda terdepan penggerak perubahan kebaikan. ‘’Sejauh apapun kita melangkah, setinggi apa kita berdiri. Pulanglah, bersama kita bangun tanah kelahiran kita. Berjuang untuk tempat yang membesarkan kita. Menjadi mata air yang jernih untuk desamu. Menjadi mata hari yang siap menerangi dan menghangatkan untuk kotamu. Milikilah mata hati yang jernih bagi agama dan bangsamu.’’ Tuturnya sambil melinangkan air mata jika mengingat besarnya kasih sayang yang ia miliki untuk Bhumi Phala tercinta..









Komentar

  1. Mendengar desa Muncar selalu membuatku pengen ke sana. Padahal udah Deket banget dari kampung suamiku, tapi masih belum kesampaian ke sana. Hahaha.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Jeprat Jepret Bikin Baper

Selain keluarga, apa yang bisa membuatmu rindu rumah? Kalau aku jawabnya: makanan! Ya, makanan kampung halaman selalu menempati ruang tersendiri di hati. Dan lidah tentunya. Satu hal yang amat aku syukuri adalah aku tidak perlu pergi jauh-jauh pulang kampung jika kangen merasakan kuliner tradisionalnya. Tahu kenapa? Ya kan sekarang aku tinggal di kampung... :) Meski Temanggung adalah kampung halaman suami, tapi sudah seperti tumpah darahku sendiri. Hal lain yang membuatku bahagia adalah letak pasar yang berhadapan dengan rumah. Serasa surga.. hehe.  Tinggal nyebrang dan pilih mana yang disuka. Ini pula yang sering bikin kakak ipar cemburu. Karena dia harus menunggu libur lebaran untuk bisa njajan sepertiku. Dan sepertinya dia akan semakin baper kalau lihat jajan pasar dalam foto-foto berikut. KLEPON Dibuat dari tepung ketan yang diuleni dengan air dan sedikit garam. Dibentuk bola, diisi gula merah lalu direbus. Disajikan dalam baluran kelapa parut. Ada sensasi

Kulit Lebih Sehat dan Cerah dengan Scarlett Brightly Series Meski Menua Setiap Hari

Menjadi Penari Topeng Ireng, Sebuah Pengalaman Seru

Menjadi penari topeng ireng adalah hal yang tidak pernah terpikirkan apalagi direncanakan sebelumnya.  Tapi ini terjadi pada saya. :) Teman-teman mungkin ada yang belum tahu apa itu Topeng Ireng. Apakah menari dengan memakai topeng yang berwarna hitam? (ireng berarti hitam dalam bahasa Jawa) Saya dulu pernah menyangka demikian. Tapi ternyata salah besar.